Gunarsa
(2007) mengatakan psikoterapi lahir pada pertengahan dan akhir abad yang lalu,
dilihat secara etomologis mempunyai arti sederhana, yakni “psyche” yang artinya jelas, yaitu “mind” atau sederhananya: jiwa dan “therapy” dari bahasa Yunani yang berarti “merawat” atau “mengasuh”, sehingga
psikoterapi dalam arti sempitnya adalah “perawatan terhadap aspek kejiwaan
seseorang”. Perawatan melalui teknik psikoterapi adalah perawatan yang secara
umum mempergunakan intervensi psikis dengan pendekatan psikologi terhadap
pasien yang mengalami gangguan psikis atau hambatan kepribadian.
Psikoterapi
sebagai terminologi umum dilakukan dengan berbagai metode dan teknik. Kegiatan psikoterapi
terlihat, jika seseorang memiliki kompetensi ilmiah sebagai terapis,
mengulang-ulang apa yang diucapkan klien atau pasien [Rogerian]: atau jika dari
bidang-bidang berikut: fungsi kognitif [kelainan pada fungsi berpikir], fungsi
afektif [penderitaan atau kehidupan emosi yang tidak menyenangkan] atau fungsi
perilaku [ketidaktepatan perilaku]; dengan terapis yang memiliki teori tentang
asal-usul kepribadian, perkembangan, mempertahankan dan mengubah bersama-sama
dengan beberapa metode perawatan yang mempunyai dasar teori dan profesinya
diakui resmi untuk bertindak sebagai terapis (Gunarsa, 2007).
Terapi
ini pun biasanya meliputi organobiologik, psikoedukatif, dan sosiokultural,
sesuai konsep penyebab gangguan jiwa menurut paradigma psikiatri. Maka,
pengobatan atau terapi gangguan jiwa tidak mesti, atau bukan hanya obat
(psikofarma), tapi juga psikoterapi,, terapi perilaku, terapi kognitif, terapi
realitas, terapi keluarga, terapi okupasional, dan lain-lain. Pengobatan atau
terapi di bidang kesehatan jiwa seperti inilah yang disebut “pelayanan
kesehatan jiwa”. Bila menyangkut berbagai lapisan masyarakat di luar Rumah
Sakit/ Rumah Sakit Jiwa dan berbasis pada masyarakat disebut “pelayanan
kesehatan jiwa masyarakat”. Karena, meliputi pemeriksaan fisik (somatik),
selain psikis dan perilaku, yang akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup manusia, maka disebut “pelayanan kesehatan jiwa paripurna”. Idealisme yang
menjadi “visi” seluruh Rumah Sakit Jiwa di Indonesia ini ironisnya hampir tidak
pernah dijelaskan kepada masrakat umum (Wicaksana, 2008).
Menuru
Isfandari, dkk (2012) mengemukakan bagaimana peran psikolog dalam pelayanan
kesehata jiwa di Puskesmas? Dalam sistem kesehatan, pengakuan psikolog sebagai
tenaga kesehatan merupakan hal baru seperti tercantum dalam Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara SK Menpan No.Per/11/M.Pan/5/2008 tentang Jabatan
Fungsional Psikologi Klinis dan Angka Kreditnya. Hasil wawancara dengan Kepala
Badan Kepegawaian Daerah (BKD) menyiratkan walau dirasakan ada kebutuhan, namun
penempatan psikolog di puskemas belum dianggap penting dibanding dengan tenaga
kesehatan lain yang sudah lebih dahulu diakui, seperti dokter, perawat, bidan,
ahli gizi dan sanitarian. Dengan masih terbatasnya psikiater untuk diterjunkan
hingga level puskesmas, Direktorat Kesehatan Jiwa Kemenkes mengharapkan
psikolog dengan pendidikan setara magister strata 2 dapat berperan sejajar
dengan dokter untuk melakukan diagnosis dan terapi gangguan mental emosional.
Uji
coba penempatan psikolog di Puskesmas yang dimulai sejak tahun 2004 dirasakan
sangat bermanfaat oleh rekan kerja mereka di puskesmas, yaitu kepala puskesmas,
dokter, dan penanggung jawab program kesehatan masyarakat. Terungkap di
wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah yang menyatakan layanan
psikolog di puskesmas sangat membantu kegiatan puskesmas di dalam gedung dan
luar gedung. Awalnya penempatan psikolog bertujuan untuk mendekatkan pelayanan
kesehatan jiwa puskesmas di masyarakat, melakukan deteksi dini adanya masalah
gangguan emosional, namun dalam kenyataannya mereka melakukan peran lebih. Para
psikolog memberikan pelayanan bersama dengan dokter di poli umum untuk
menangani penyakit kronis, psikosomatis. Pelayanan psikologi diberikan melalui
pelayanan kesehatan reproduksi, dimulai dengan konsultasi calon pengantin
(catin) agar mempersiapkan diri secara matang menjelang pernikahan. Program
layanan catin merupakan salah satu upaya untuk menjangkau kalangan remaja
sebagai target, terutama terkait dengan program pencegahan HIV/AIDS, dan
infeksi menular seksual. Di samping pelayanan dalam gedung, psikolog juga
memberikan pelayanan di luar gedung, berupa kegiatan promotif dan preventif
yaitu penyuluhan kesehatan reproduksi.
Peserta
diskusi kelompok menyatakan manfaat keberadaan psikolog di Puskesmas. Mereka
memberi informasi bahkan program ini telah diimplementasi di kota Yogyakarta.
Diskusi kelompok dengan Psikolog menyatakan selain memberi pelayanan kesehatan
jiwa, mereka membantu mengintegrasikan kegiatan secara holistik, sehingga
mereka merasa peran manajerial mereka lebih menonjol. Namun dalam pemaparan
hasil awal kajian penelitian di Kemkes, Kepala Direktorat Kesehatan Jiwa
mengungkapkan harapan agar tugas utama psikolog klinis sebagai rekan kerja
dokter. Tidak hanya menangani kasus ‘ringan’, menerima rujukan dokter, tetapi
mampu melakukan diagnosa dan terapi pasien gangguan emosional. Saat ini
protokol tetap (protap) yang disepakati adalah untuk kasus-kasus tertentu
dokter wajib merujuk ke psikolog untuk dilakukan pemeriksaan lebih dalam.
Selanjutnya psikolog akan merujuk balik ke dokter.
Menurut
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, profesionalisme psikolog yang bersedia
mendengarkan pasien, melakukan analisis membantu pasien merasa nyaman. Beliau
menyatakan walaupun psikolog dirasa bermanfaat, diperlukan pembekalan lebih
banyak kepada psikolog yang akan ditugaskan di puskesmas. Materi prioritas yang
wajib diberikan adalah pemahaman lingkungan dan atmosfer kerja puskesmas serta
penyakit menular. Disarankan agar materi pelayanan dasar Puskesmas dimasukkan
dalam kurikulum pendidikan di Fakultas Psikologi.
“Dokter terbatas, kurang
banyak mendengar. Sedangkan psikolog dididik untuk mendengar, menganalisis kasus
puskesmas yang 50% tidak fisik, tapi lebih stressor. Provider medis tidak ada
waktu untuk mengopeni.” (pernyataan Sekretaris Daerah saat
wawancara mendalam)
Psikolog
membantu penanganan kasus psikologis karena petugas puskesmas kurang memahami
bidang ini, walaupun telah mendapat pelatihan dari Depkes. Pernyataan Kepala
Dinas Kesehatan dalam wawancara mendalam menyampaikan alasan diperlukannya
psikolog dalam pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas.
Menurut
Setio (1997) psikoterapi memiliki beberapa tujuan, di antaranya:
a. Perawatan
akut (intervensi krisis dan stabilisasi)
b. Rehabilitasi
(memperbaiki gangguan perilaku berat)
c. Pemeliharaan
(pencegahan keadaan memburuk jangka panjang)
d. Restrukturisasi
(meningkatkan perubahan yang terus-menerus pada pasien)
Menurut
Setio (1997) terdapat cara memilih psikoterapi yang sesuai, yaitu:
a. Pendahuluan
Pemilihan
terapi yang sesuai tidak hanya didasarkan pada diagnosis. Beberapa faktor di
samping diagnosis, perlu dipertimbangkan dengan saksama. Masalah pasien perlu
dipandang dalam konteks kemungkinan penyakit mental berdasarkan biologis dan
dunai intrapsikisnya, gaya kepribadian, kesukaran perilaku, dan faktor
sosiokultural. Jadi, dua individu dengan kategori yang sama pada seluruk aksis
DSM III-R dapat merupakan orang yang sama sekali berbeda dan memerlukan
intervensi terapeutik yang berbeda.
b.
Konseptualisasi masalah
Penilaian
harus mempunyai tinjauan menyeluruh mengenai berbagai tingkat realitas yang mempengaruhi
pasien.
c. Masalah
yang dihadapi
Pasien
dapat ditemukan dengan sejumlah gejala uama. Lazare (1976) mencatat beberapa
gejala sebagai berikut: permohonan administratif, penjelasan saran, memilih
masyarakat, pengakuan, kontrol, penentuan batas, keahlian medis dan psikologik,
psikoterapi, intervensi sosial, kontak realitas, dan memberi pertolongan.
d. Karakteristik
pasien
Karakteristik
kepribadian relevan dengan bentuk terapi yang merupakan indikasi.
e. Bagaimana
memutuskan intervensi terapeutik mana yang digunakan
Psikoterapi
merupakan hubungan ditambah satu kombinasi teknik dari intervensi psikodinamik
hingga psikofarmakologik. Karena psikoterapis dari berbagai kelompok terapi
menjadi lebih berpengalaman, apa yang sebenarnya mereka lakukan dalam terapi
menjadi semakin mirip. Kombinasi terapi dapat menjadi lebih efektif dibanding
ketaatan pada salah satu kelompok atau kelompok lainnya.
Menurut
Setio (1997) terdapat beberapa teknik psikoterapi, di antaranya:
a. Eksploratoar
Meliputi
terapi berorientasi psikodinamika, psikoanalisis, hipoanalisis, dan khayalan
terpimpin.
b. Direktif
Meliputi
umpan balik bio kognitif dan rasioemotif, desensitisasi, dan terapi realitas.
c. Eksperiensial
Meliputi
eksistensial, berpusat klien, konfigurasi keseluruhan persepsi, terapi Zen,
psikodrama, dan terapi seni.
d. Suportif
Meliputi
prosedur advis, pujian, memberikan keyakinan, peminjaman ego, dan penentuan
limit.
DAFTAR PUSTAKA
Gunarsa,
S. D. (2007). Konseling dan psikoterapi. Jakarta: Gunung Mulia.
Isfandari,
S., Rahmawati, T., Siahaan, S., Roosihermiatie, B., Abbas, I., Afiatin, T., et
al. (2012). Evaluasi penempatan psikolog dalam pelayanan kesehatan jiwa di
puskesmas kabupaten sleman, yogyakarta, indonesia, 2011. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 15, 354-359.
Setio,
M. (1997). Buku saku psikiatri. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Wicaksana,
I. (2008). Mereka bilang aku sakit jiwa: Refleksi kasus-kasus psikiatri dan
problematika kesehatan jiwa di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.