A.
PSIKOANALISA
Psikoanalisa disamping sebagai teori kepribadian dan teknik evaluasi kepribadian, psikoanalisa juga dikenal sebagai terapi, yaitu teknik untuk menyembuhkan penyakit-penyakit kejiwaan tertentu. Prinsip yang dipakai dalam teknik terapi menurut psikoanalisa adalah mencari dahulu faktor-faktor yang menyebabkan neurosis itu melalui teknik-teknik kepribadian. Apabila sudah diketahui penyebabnya, barulah menghilangkan faktor-faktor itu dalam rangka menghilangkan gejala-gejala penyakit.
Teknik-teknik
perawatan yang dikemukakan Freud sangat berbeda dengan teknik-teknik yang
diikuti oleh para dokter yang sudah lazim dalam praktek pengobatan mereka, dan
tentunya merupakan cara yang revolusioner pada periode sebelum-sebelumnya.
Pada
awal tahun 1904, Freud menyusun syarat tertentu untuk menyeleksi pasien yang
cocok untuk psikoanalisis. Dia mengharuskan pasien tersebut memiliki tingkat
pendidikan yang cukup tinggi dan karakter yang cukup dapat diandalkan. Dan
tidak mau mengambil pasien psikosis; yaitu pasien yang menderita schizofrenia
atau penderita melankolia yang paling parah (sakit depresi). Freud juga
mengatakan bahwa pasien yang “hampir mendekati atau berada di atas usia lima
puluh tahun” tidak cocok untuk psikoanalisis karena dua alasan. Pertama, dia
takut bahwa banyaknya materi yang dialami pasien pada masa hidupnya telah
begitu menumpuk sehingga perawatannya mungkin akan berlangsung secara tidak
jelas. Kedua, dia mengatakan “orang lanjut usia tidak lagi dapat dididik”,
sementara orang dibawah usia remaja “seringkali sangat mudah dipengaruhi”.
Freud juga mengungkapkan bahwa saran memainkan peranan yang lebih besar di
dalam psikoanalisis yang biasa diakuinya.
Freud
dalam melakukan praktek terapi, pasien diminta untuk berbaring tengkurap di
atas sebuah dipan, sementara psikoanalisisnya duduk tidak kelihatan di
belakangnya, dikarenakan tiga alasan: pertama, karena dengan demikian dapat
mendorong lancarnya alur asosiasi bebas. Kedua, pengakuan Freud bahwa dia
merasa takut kalau harus ditatap secara terus menerus selama delapan jam atau
lebih dalam sehari. Ketiga, Freud beranggapan akan lebih menguntungkan apabila
si pasien tidak menyadari perubahan mimik pada wajah psikoanalisisnya. Ketiga,
alasan ini mempunyai kesahihan tertentu dan hampir semua analisis yang
menggunakan cara Freud ini tetap menggunakan dipan.
Freud
menganjurkan agar psikoanalis tidak membuat catatan mengenai pokok pembicaraan
karena hal ini mungkin akan mengganggunya dalam mempertahankan sikap
“memperhatikan dengan perhatian yang sama besar”. Dia juga menolak untuk
memutuskan terlalu awal mana saja pendapat pasien yang dianggap penting. Freud
menunjukkan bahwa manfaat dari apa yang didengar analis dalam pembahasan khusus
mungkin hanya dapat dibuktikan pada waktu yang akan datang. Seorang analis
harus mengubah pikiran bawah sadarnya sendiri seperti sebuah alat penerima
kearah pikiran bawah sadar pasien yang dipancarkan. Dia harus menyesuaikan
dirinya sendiri dengan pasien seperti layaknya pesawat penerima telepon yang
disesuaikan dengan mikropon pengirimnya.
1.
Teknik talking cure (chimney sweeping)
Teknik
talking cure merupakan teknik yang
pertama kali pada saat Freud melakukan prakteknya untuk yang pertama kali
bersama dokter Josep Breuer. Teknik ini dilaksanakan dengan membina hubungan
baik dengan pasien-pasiennya. Dari hubungan baik tersebut Freud membiarkan
pasiennya menceritakan semuanya pengalaman-pengalaman yang pernah dialaminya
dari masa lalu. Melalui talking cure ini semua isi hati yang membuat si pasien
kecewa dapat tersalurkan sehingga hati pasien menjadi lega terbebas dari
tekanan-tekanan isi hati yang selama ini tidak bisa disalurkan keluar.
Kemudian
dari hubungan baik tersebut akan dapat menimbulkan “catharsis” yaitu suatu keadaan dimana pasien dengan bebas sekali
mengemukakan semua kesukaran-kesukaran yang dialaminya kepada dokter. Akan
tetapi, menurut pengalaman Freud teknik talking cure kurang tepat karena dari
teknik ini hanya menghasilkan hal-hal yang terdapat dalam alam kesadaran.
Padahal persoalan yang menyebabkan gangguan kejiwaan kebanyakan pada alam
ketidaksadaran.
2.
Katarsis (hipnosis)
Metode
katarsis ini diperoleh dari dokter Josep Breuer. Metode hipnosis merupakan
suatu teknik atau metode untuk menjadikan pasien-pasien setengah sadar atau
berkurang kesadarannya sehingga lebih mudah dilihat isi dari alam
ketidaksadarannya. Menurut dr. Breuer berdasarkan metode katarsis itu telah
terbukti adanya perkaitan antara ingatan-ingatan yang dilupakan dengan
gejala-gejala histeria. Sebab arti gejala-gejala itu dapat dinyatakan setelah
pasien dimasukkan dalam keadaan hipnosis. Jadi dalam metode katarsis yang
diajarkan oleh Breuer menurut pasien di hipnosis secara mendalam, karena hanya
dalam keadaan hipnosis diperoleh sumber-sumber pataganis. Dalam menghadapi
kasus akut, Bernheim berulang-ulang mengatakan bahwa sugesti adalah inti
manifestasi hipnotisme dan hipnotis itu sendiri adalah hasil dari sugesti atau
kondisi yang disugesti. Dalam keadaan bangun, dia juga lebih suka menggunakan
sugesti yang juga akan memberi hasil yang sama.
Freud
dalam menjalankan metode hipnosis dikabarkan telah sukses menagani kasus
gangguan syaraf, yaitu perilaku irrasional seseorang yang berada dalam
kesusahan. Tetapi tidak lama kemudian Freud merasa kurang puas dengan metode
katarsis (hipnosis) karena metode ini dirasakan terlalu berat bagi dokter
bersangkutan dan juga karena hasilnya kurang memuaskan akibat daya tahan pasien
sering kali tidak dapat dibongkar. Ia juga mengatakan pekerjaan ini
mengingatkan pada metode magis, sulap, dan takhayul. Hanya saja, untuk
kepentingan pasien, dokter harus melakukannya. Walaupun sebenarnya tidak
demikian karena metode hipnosis dapat dijelaskan secara ilmiah. Sehingga Freud
perlu mengembangkan tekniknya sebagai penyempurna teknik-teknik sebelumnya.
3.
Metode asosiasi bebas (free assosiation)
Asosiasi
bebas merupakan teknik utama dalam psikoanalisa. Analisis meminta kepada pasien
agar membersihkan pikirannya dari pemikiran dan renungan sehari-hari dan sebisa
mungkin menyatakan apa saja yang terlintas dalam pemikirannya betapa pun
menyakitkan.
Asosiasi
bebas adalah suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lalu
dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi traumatis dari masa
lampau. Jadi dalam metode asosiasi bebas ini pasien harus meninggalkan setiap
sikap kritis terhadap fakta-fakta yang disadari dan mengatakan apa saja yang
timbul dalam pemikirannya.
Dari
prakteknya penyembuhan menggunakan asosiasi bebas ini belum membuat Sigmund
Freud puas. Hal ini karena masih kurang banyak isi dari ketidaksadaran yang
dapat dikorek keluar sehingga penyembuhan pun kurang meyakinkan.
4.
Analisis mimpi
Freud menggunakan analisis mimpi untuk mengubah muatan manifes menjadi muatan laten yang lebih penting. Muatan manifes adalah makna mimpi pada permukaan atau deskripsi sadar yang disampaikan oleh orang yang bermimpi, sedangkan muatan laten berarti hal-hal yang tidak sadari.
Asumsi
dasar dari analisis mimpi Freud adalah hampir semua mimpi merupakan upaya
pemenuhan keinginan (wish fulfillments).
Sejumlah keinginan tampak jelas dan diungkapkan melalui muatan manifes, seperti
pada orang yang tidur dalam keadaan lapar dan bermimpi memakan makanan enak
yang banyak. Akan tetapi, kebanyakan upaya pemenuhan keinginan diungkapkan
melalui muatan laten dan hanya tafsir mimpilah yang bisa mengungkapkan
keinginan tersebut.
Dari
berbagai usaha yang telah dilakukan akhirnya Freud berfikir bahwa isi
ketidaksadaran dapat pula timbul dalam mimpi. Mimpi merupakan suatu produk
psikis dan karena hidup psikis dianggap sebagai konflik antara daya-daya psikis
maka bisa diterima jika ia menyatakan mimpi sebagai perwujudan suatu konflik.
Mimpi sebagai keinginan tak sadar yang muncul dalam kesadaran.
Di
dalam mimpi ada tiga materi yang telah dikemukakan oleh Freud, yaitu; pertama,
telah diketahui bahwa materi-materi tertentu yang muncul dalam isi mimpi, yang
sesudahnya tidak bisa dikenali di alam sadar, adalah bagian dari pengetahuan
dan pengalaman seseorang. Kedua, sumber materi-materi untuk direproduksi dalam
mimpi yang diambil adalah dari masa kanak-kanak. Ketiga, keanehan ingatan dalam
mimpi yang paling luar biasa sekaligus paling sulit untuk dijelaskan adalah
pada pemilihan materi yang akan diproduksi. Untuk menafsirkan mimpi orang harus
menelusuri proses terbentuknya mimpi dalam jurusan yang berlawanan. Setelah
terlewati ia akan dapat memperlihatkan keinginan yang di represi. Maka
penafsiran mimpi memainkan peran besar dalam perawatan psikoanalisis dan pada
banyak kasus penafsiran mimpi jangka panjang menjadi instrumen paling penting
dalam perawatan.
Ringkasnya,
Freud meyakini bahwa mimpi dimotivasi oleh upaya pemenuhan keinginan. Muatan
dari mimpi dibentuk di alam tidak sadar dan biasanya berakar dari pengalaman
kanak-kanak, sementara muatan manifes seringkali berawal dari pengalaman
sehari-hari.
Bagi
Freud analisa tentang mimpi membawa banyak keuntungan. Pertama, analisa itu
dapat meneguhkan hipotesisnya tentang susunan dan fungsi hidup psikis. Kedua,
melalui hasil studinya tentang mimpi, ia mencapai kerajaan yang besar dibidang
pengobatan neurosis-neurosis, dimana mimpi tersebut dapat membongkar
ingatan-ingatan dari masa lampau.
5.
Freudian Slips
Freud
meyakini bahwa keliru ucap atau tulis, salah baca, salah dengar, salah menaruh
barang, dan selama sejenak melupakan nama atau apa yang ingin dilakukan, yang terjadi
sehari-hari, bukanlah sekedar kecelakaan. Akan tetapi, justru mengungkapkan
tujuan seseorang yang tak di sadari. Kekeliruan ini, menggunakan bahasa Jerman,
yaitu Fehlleistung atau “kekeliruan fungsi”. Akan tetapi, James Strachey,
menciptakan istilah parapraxes untuk menyebut apa yang kini banyak dikenal
sebagai “keliru ucap ala Freud” (Freudian
slips).
Parapraxes
tanpa sadar begitu lazim, sehingga biasanya tidak kita perlihatkan dan kita pun
menampik keinginan bahwa mereka punya makna yang tersembunyi. Freud bersikeras
bahwa kekeliruan memiliki makna, mereka mengungkapkan tujuan tidak sadar dari
orang tersebut. Keliru ucap yang tidak
di sadari ini serupa seperti mimpi, muncul dari alam bawah sadar dan alam tidak
sadar dimana tujuan tidak begitu dominan sehingga mengganggu dan menggantikan
tujuan yang ada di alam bawah sadar.
B. BEHAVIORISTIK
Terapi
tingkah laku adalah suatu teknik yang menerapkan informasi-informasi ilmiah
guna menemukan pemecahan masalah manusia. Jadi, tingkah laku berfokus pada
bagimana orang-orang belajar dan kondisi apa saja yang menentukan tingkah laku
mereka. Istilah terapi tingkah laku atau konseling behavioristik berasal dari
Bahasa Inggris “Behavior Counseling”
yang untuk pertama kali digunakan oleh Jhon D. Krumboln. Krumboln adalah
promoter utama dalam pendekatan behavioristik konseling, meskipun dia
melanjutkan aliran yang sudah di mulai sejak tahun 1950.
Terapi
behavioristik adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar
pada berbagai teori tentang belajar. Terapi ini menyertakan penerapan yang
sistematis prinsip-prinsip belajar pada pada pengubahan tingkah laku kearah
cara-cara yang lebih adaptif.
Corey
(1997) menjelaskan bahwa behavioristik adalah pendekatan-pendekatan terhadap
konseling dan psikoterapi yang berkaitan dengan pengubahan tingkah laku.
Pendekatan, teknik dan prosedur yang dilakukan berakar pada berbagai teori
tentang belajar.
Pelopor-pelopor
aliran behavioristik pada dasarnya berpegang pada keyakinan bahwa perilaku
manusia merupakan hasil dari proses belajar, oleh karena itu dapat diubah
dengan belajar baru.
Pada
dasarnya, terapi tingkah laku diarahkan pada tujuan-tujuan memperoleh tingkah
laku baru, penghapusan tingkah laku yang maladaptif, serta memperkuat dan
mempertahankan tingkah laku yang diinginkan.
Manusia
dipandang memiliiki potensi untuk berperilaku baik atau buruk, tepat atau
salah. Manusia mampu malakukan refleksi atas tingkah lakunya sendiri, dapat
mengatur serta mengontrol perilakunya dan dapat belajar tingkah laku baru atau
dapat mempengaruhi perilaku orang lain.
Bahavioristik
adalah suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia. Dalil dasarnya
adalah bahwa tingkah laku itu tertib dan bahwa eksperimen yang dikendalikan
dengan cermat akan menyingkapkan hukum-hukum yang mengendalikan tingkah laku.
Behavioristik ditandai oleh sikap membatasi metode-metode dan prosedur-prosedur
pada data yang dapat diamati.
Pendekatan
behavioristik tidak menguraikan asumsi-asumsi filosofis tertentu tentang
manusia secara langsung. Setiap orang dipandang memiliki
kecenderungan-kecenderungan positif dan negatif yang sama. Manusia pada
dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya. Segenap
tingkah laku manusia itu dipelajari. Meskipun berkeyakinan bahwa segenap
tingkah laku pada dasarnya merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan lingkungan
dan faktor-faktor genetik, para behavioristik memasukkan pembuatan putusan
sebagai salah satu bentuk tingkah laku.
Terapi
tingkah laku ditandai oleh: (a) pemusatan perhatian terhadap tingkah laku yang
tampak dan spesifik, (b) kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment, (c)
perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai dengan masalah, dan (d)
penaksiran objektif atas hasil-hasil terapi.
Tujuan
umum terapi tingkah laku adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses
belajar. Dasar alasannya ialah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasuk tingkah laku yang
maladaptif. Jika tingkah laku neurotik learned,
maka ia bisa unlearned (dihapus dari
ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh. Terapi tingkah
laku pada hakikatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak
adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang didalamnya terdapat
respons-respons yang layak, namun belum dipelajari.
Tujuan
konseling behavioral berorientasi pada pengubahan atau modifikasi perilaku
konseli, yang diantaranya untuk:
a. Menciptakan
kondisi-kondisi baru bagi proses belajar.
b. Penghapusan
hasil belajar yang tidak adaptif.
c. Memberi
pengalaman belajar yang adaptif namun belum dipelajari.
d. Membantu
konseli membuang respons-respons yang lama yang merusak diri atau maladaptif
dan mempelajari respons-respons yang baru yang lebih sehat dan sesuai (adjustive).
e. Konseli
belajar perilaku baru dan mengeliminasi perilaku yang maladaptif pemperkuat
serta mempertahankan perilaku yang diinginkan.
f. Penetapan
tujuan dan tingkah laku serta upaya pencapaian sasaran dilakukan bersama antara
konseli dan konselor.
Untuk
mencapai tujuan dalam proses konseling diperlukan teknikteknik yang digunakan.
Untuk pengubahan perilaku ada sejumlah teknik yang dapat dilakukan dalam terapi
behavioristik, yaitu:
1. Desensitisasi
Sistematis
Menurut
Willis (2004: 96) desensitisasi sistematis adalah suatu teknik untuk mengurangi
respon emosional yang menakutkan, mencemaskan atau tidak menyenangkan melalui
aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan respon yang menakutkan itu.
Desensitisasi sistematis juga melibatkan teknik-teknik relaksasi. Klien di
latih untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan
pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau divisualisasi.
Tingkatan stimulus penghasil kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan
stimulus penghasil keadaan santai sampai kaitan antara stimulus penghasil
kecemasan dan respon kecemasan itu akan terhapus.
Adapun
tahap-tahap dalam pelaksanaan teknik desensitisasi sistematik ini dikemukakan
oleh Cormier & Cormier (Abimanyu & Manrihu,1996:337) adalah:
a. Rasional
penggunaan treatment desensitisasi
sistematis
b. Identifikasi
situasi-situasi yang menimbulkan emosi
c. Identifikasi
konstruksi hierarki
d. Pemilihan
latihan
e. Penilaian
imajinasi
f. Penyajian
adegan
g. Tindak
lanjut
2. Terapi
Implosif
Terapi
implosif dikembangkan atas dasar pandangan tentang seseorang yang secara
berulangulang dihadapkan pada situasi kecemasan dan konsekuensi konsekuensi
yang menakutkan ternyata tidak muncul, maka kecemasan akan hilang. Atas dasar
itu klien diminta untuk membayangkan stimulus-stimulus yang menimbulkan
kecemasan.
Pasien
dengan ansietas yang disebabkan situasi, secara langsung dipajankan terhadap
situasi tersebut untuk jangka waktu tertentu (flooding) atau dipajankan di dalam imajinasi (implosion).
a. Flooding
Dalam
flooding terdiri dari paparan intens
dan berkepanjangan terhadap rancangan kecemasan yang sebenarnya. Umumnya, klien
yang sangat ketakutkan cenderung mengekang kecemasan mereka melalui penggunaan
perilaku maladaptif. Dalam flooding,
klien dilarang untuk berkecimpung dalam respon mereka yang biasa maladaptif
ketika dalam situasi kecemasan. Flooding
cenderung mengurangi kecemasan dengan cepat.
Teknik
ini didasarkan pada prinsip-prinsip dan mengikuti prosedur yang sama namun
paparan terjadi dalam imajinasi klien bukan di kehidupan sehari-hari. Paparan
terhadap peristiwa traumatis yang sebenarnya seperti kecelakaan pesawat,
pemerkosaan, kebakaran, banjir, sering
tidak mungkin dilakukan karena alasan etis dan praktis. Banjir imaginal dapat
menciptakan kembali keadaan trauma dengan cara yang tidak membawa konsekuensi
yang merugikan bagi klien.
Flooding
sering digunakan dalam pengobatan perilaku kecemasan yang berhubungan dengan
gangguan, fobia, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan stres pasca trauma, dan
agoraphobia. Kontak yang terlalu lama dan intens dapat menjadi cara yang
efektif dan efisien untuk mengurangi kecemasan klien. Penelitian menunjukkan
bahwa terapi paparan dapat mengurangi derajat rasa takut dan kecemasan.
b. Implosion
Pada
terapi ini klien tidak disuruh untuk membayangkan situasi yang ditakutinya atau
yang membangkitkan kecemasannya, tetapi klien dihadapkan langsung pada situasi
itu. Terapis dan klien membuat hirarki kecemasan untuk melihat tingkat
kecemasan yang dialami klien. Setelah pembuatan hirarki ini klien dihadapkan
pada pemaparan penyebab itu. Klien dapat menghentikan pemaparan jika ia
mengalami tingkat kecemasan yang tinggi.
Seperti
halnya dengan desensitisasi sistematis, klien belajar tanggapan bersaing melibatkan
relaksasi otot. Dalam beberapa kasus terapis dapat menemani klien saat mereka
menghadapi situasi ditakuti. Sebagai contoh, terapis bisa pergi dengan klien
dalam lift jika mereka memiliki fobia menggunakan lift.
3. Latihan
Asertif
Latihan
asertif menjadi metode yang sangat sering digunakan dalam mengubah tingkah laku
interpersonal yang tidak adaptif. Teknik ini sangat efektif dalam mengubah
tingkah laku takut dan tingkah laku agresif. Wolpe (1958) adalah orang pertama
yang mengembangkan pendekatan ini dan dikembangkan lebih lanjut oleh berbagai
pengarang, termasuk Alberti dan Emmons (1970) serta Fensterheim dan Baer
(1975).
Latihan
asertif bertujuan melatih serta membiasakan individu berperilaku asertif dalam
berhubungan dengan orang lain di lingkungan sekitarnya. Perilaku asertif
merupakan perilaku dalam hubungan antar pribadi yang menyangkut ekspresi emosi,
perasaan, pikiran, serta keinginan dan kebutuhan secara terbuka, tepat, dan
jujur, tanpa perasaan cemas atau tegang terhadap orang lain tanpa merugikan
diri sendiri atau orang lain
4. Pengkondisian
Aversi
Teknik
ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan
untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus yang
disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut. Stimulus yang tidak
menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan
munculnya perilaku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini
diharapkan terbentuk asosiasi antara perilaku yang tidak dikehendaki dengan stimulus
yang tidak menyenangkan.
5. Pembentukan
Perilaku Model
Teknik
ini dapat digunakan untuk membentuk perilaku baru pada klien, dan memperkuat
perilaku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien
tentang perilaku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup
atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis perilaku yang hendak dicontoh.
Perilaku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran
dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.
6. Kontrak
Perilaku
Kontrak
perilaku adalah persetujuan antara dua orang atau lebih (konselor dan klien)
untuk mengubah perilaku tertentu pada klien. Dalam terapi ini konselor
memberikan ganjaran positif dipentingkan daripada memberikan hukuman jika
kontrak tidak berhasil.
7. Home Work Assigments
Teknik
yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan
diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola
perilaku yang diharapkan. Dengan tugas rumah yang diberikan, klien diharapkan
dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak
rasional dan tidak logis, mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan
untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan
tertentu berdasarkan tugas yang diberikan. Pelaksanaan home work assigment yang
diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan tatap muka
dengan konselor. Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan
sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk
pengarahan diri, pengelolaan diri klien dan mengurangi ketergantungannya kepada
konselor.
8. Adaptif
Teknik
yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara
terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan perilaku yang diinginkan.
Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.
9. Cognitive Behavioural Theraphy
CBT
menganggap bahwa pola pemikiran terbentuk melalui proses
stimulus-kognisi-respon (S-K-R), yang saling berkaitan dan membentuk semacam
jaringan dalam otak. Proses kognitif merupakan faktor penentu bagi pikiran,
perasaan, dan perbuatan. Semua kejadian yang dialami berlaku sebagai stimulus
yang dapat dipersepsi secara positif maupun negatif.
CBT
merupakan bentuk psikoterapi yang menekankan pentingnya peran pikiran dalam
bagaimana kita merasa dan apa yang akan kita lakukan.
C. HUMANISTIK
Manusia adalah mahluk yang selalu dalam keadaan transisi, berkembang, membentuk diri dan menjadi sesuatu. Menjadi seseorang berarti kita menemukan sesuatu dan menjadikan keberadaan kita sebagai sesuatu yang wajar. Sebagai manusia kita selalu bertanya tentang diri sendiri, orang lain dan dunia. Memiliki enam dimeni dasar positif dari kondisi manusia, yaitu: 1. kapasitas akan kesadaran diri; 2. Kebebasan serta tanggung jawab; 3. menciptakan identitas dirinya dan menciptakan hubungan yang bermakna dengan orang lain; 4. usaha pencarian makna, tujuan, nilai dan sasaran; 5. kecemasan sbagai suatu kondisi hidup; dan 6. kesadaran akan datangnya maut serta ketidakberadaan.
Manusia
pada dasarnya baik-aktif. Kecenderungan manusia untuk berkembang secara positif
dan konstruktif apabila tercipta suasana menghormati dan mempercayai. Manusia
itu penuh akal, dapat dipercaya dan positif, mampu mengarahkan diri, hidup
secara produktif, efektif dan efisien.
Pandangan
positif tentang sifat dasar manusia ini mengandung implikasi yang signifikan
bagi praktik terapi yang berakar pada kapasitas klien untuk menyadari dan
kemampuannya untuk membuat keputusan. Melihat manusia dari sisi ini berarti
terapis berfokus pada segi konstruktif dari sifat dasar manusia, pada apa yang
benar dengan pribadi itu dan pada aset yang dibawa orang dalam terapi.
Implikainya bahwa mereka tiada hentinya terlibat dalam suatu proses
mengaktualisasikan diri.
Terapi
ini cenderung memusatkan pada pengalaman-pengalaman sadar. Dan memusatkan
perhatian pada apa yang dialami pasien di masa sekarang, dan bukan pada masa
lampau.
Terapi
eksistensial tidak terikat pada salah seorang pelopor, akan tetapi eksistensial
memiliki banyak pengembang, tetapi yang populer adalah Victor Frankl, Rollo
May, Irvin Yalom, James Bugental, dan Medard Boss. Eksistensialisme
bersama-sama dengan psikologi humanistik, muncul untuk merespon dehumanisasi
yang timbul sebagai efek samping dari perkembangan industri dan urbanisasi
masyarakat. Pada waktu itu banyak orang membutuhkan kekuatan untuk
mengembalikan sense of humannes
disamping untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kebermaknaan
hidup, khususnya yang berkaitan dengan upaya menghadapi kehancuran, isolasi,
dan kematian.
Terapi
eksistensial humanistik berfokus pada kondisi manusia. Pendekatan ini terutama
adalah suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia alih-alih suatu
sistem teknik-teknik yang digunakan untuk mempengaruhi klien. Oleh karena itu,
pendekatan eksistensial humanistik bukan justru aliran terapi, bukan pula suatu
teori tunggal yang sistematik suatu pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang
berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang
manusia.
Menurut
Maslow, sebagian besar orang sukar melampaui tahap kebutuhan akan cinta kasih,
karena itu terapis harus mengembangkan relasi yang terbuka dan hangat kepada
klien.
Pendekatan
eksistensial humanistik mengembalikan pribadi kepada fokus sentral, memberikan
gambaran tentang manusia pada tarafnya yang tertinggi. Ia menunjukkan bahwa
manusia selalu ada dalam proses pemenjadian dan bahwa manusia secara sinambung
mengaktualkan dan memenuhi potensinya. Pendekatan eksistensial humanistik
secara tajam berfokus pada fakta-fakta utama keberadaan manusia, kesadaran
diri, dan kebebasan yang konsisten.
Menurut
teori dari Albert Ellis yang berhubungan dengan eksistensi manusia. Ia
menyatakan bahwa manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya ditentukan secara
biologis dan didorong oleh naluri-naluri. Ia melihat sebagai individu sebagai
unik dan memiliki kekuatan untuk menghadapi keterbatasan-keterbatasan untuk
merubah pandangan-pandangan dan nilai-nilai dasar dan untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan
menolak diri-sendiri. Manusia mempunyai kesanggupan untuk mengkonfrontasikan
sistem-sistem nilainya sendiri dan menindoktrinasi diri dengan
keyakinan-keyakinan, gagasan-gagasan dan nilai yang berbeda, sehingga
akibatnya, mereka akan bertingkah laku yang berbeda dengan cara mereka
bertingkah laku dimasa lalu. Jadi karena berfikir dan bertindak sampai
menjadikan dirinya bertambah, mereka bukan korban-korban pengondisian masa lalu
yang positif.
Tujuan
terapi:
a.
Menolak hasil deterministik pada ciptaan
manusia.
b.
Orang-orang bebas dan bertanggung jawab
untuk tiap pilihan dan tindakan mereka.
c.
Orang-orang adalah pengarang untuk hidup
mereka.
d. Terapi humanistik membuat klien
merefleksi pada hidup, mengenali adanya banyak pilihan, dan menentukan antara
pilihan-pilihan itu.
e. Mengurangi rasa ketergantungan kepada
orang lain dan untuk memotivasi individu menuju aktualisasi diri.
f. Mengenali cara-cara yang mereka terima
secara pasif dalam lingkungan mereka dan menyerah, sehingga diperlukan
kesadaran untuk membentuk hidup yang dimiliki untuk menggali potensi-potensi
agar hidup lebih bermakna.
Prosedur dan teknik terapi:
a. Konselor
membantu klien dalam mengidentifikasi dan mengklarifikasi asumsi mereka tentang
dunia. Klien diajak untuk mendefinisikan dan menanyakan tentang cara mereka
memandang dan menjadikan eksistensi mereka bisa diterima. Mereka meneliti nilai
mereka, keyakinan, serta asumsi untuk menentukan kesahihannya. Bagi banyak klien
hal ini bukan pekerjaan yang mudah, oleh
karena itu walnya mereka memaparkan problema mereka. Konselor disini
mengajarkan mereka bagaimana caranya untuk bercermin pada eksistensi mereka
sendiri dan meneliti peranan mereka dalam hal penciptaan problem mereka dalam
hidup.
b. Klien
didorong semangatnya untuk lebih dalam lagi meneliti sumber dan otoritas dari
sistem nilai mereka. Proses eksplorasi diri ini biasanya membawa klien ke
pemahaman baru dan berapa restrukturisasi dari nilai dan sikap mereka. Klien
mendapat cita rasa yang lebih baik akan jenis kehidupan macam apa yang mereka
anggap pantas. Mereka mengembangkan gagasan yang jelas tentang proses pemberian
niali internal mereka.
c. Konseling
eksistensial berfokus pada menolong klien untuk bisa melaksanakan apa yang
telah mereka pelajari tentang diri mereka sendiri. Sasaran terapi adalah
memungkinkan klien untuk bisa mencari cara pengaplikasikan niali hasil
penelitian dan internalisasi denagn jalan kongkrit. Biasanya klien menemukan
jalan mereka untuk menggunakan kekuatan itu demi menjalani eksistensi
kehidupannya yang memiliki tujuan.
Berikut
beberapa jenis terapi humanistik:
1. Person Centered Therapy
Suatu
bentuk terapi bicara yang dikembangkan oleh Carl Rogers di tahun 1940-an dan
1950-an. Tujuan dari bentuk terapi adalah untuk meningkatkan perasaan seseorang
harga diri, mengurangi tingkat ketidaksesuaian antara diri ideal dan aktual,
dan membantu seseorang menjadi lebih lengkap berfungsi. Keyakinan yang kuat
Rogers dalam sifat positif manusia makhluk didasarkan pada bertahun-tahun
tentang konseling klinis. Dia menyarankan bahwa semua klien, tidak peduli apa
masalahnya, dapat meningkatkan tanpa diajarkan sesuatu yang spesifik oleh
konselor, setelah mereka menerima dan menghormati diri.
Menurut
Rogers (1957), agar perubahan kepribadian yang konstruktif terjadi, perlu dan
cukup bahwa kondisi berikut dan terus selama periode waktu:
a. Dua
orang berada dalam kontak psikologis.
b. Pertama,
yang akan kita sebut klien, adalah dalam keadaan ketidaksesuaian, menjadi
rentan atau cemas.
c. Orang
kedua, yang akan kita sebut terapis, adalah kongruen atau terintegrasi dalam
hubungan.
d. Pengalaman
terapis tanpa syarat hal positif untuk klien.
e. Terapis
mengalami pemahaman empatik dari internal frame
klien acuan dan upaya untuk berkomunikasi pengalaman ini kepada klien.
f. komunikasi
untuk klien dari terapis empatik.
2. Terapi Gestalt
Terapi
ini dikembangkan oleh Frederick S. Pearls (1894-1970) yang didasari oleh empat
aliran, yaitu psikoanalisis, fenomenologis, dan eksistensialisme, serta
psikologi gestalt.
Menurut
Pearls individu itu selalu aktif sebagai keseluruhan. Individu bukanlah jumlah
dari bagian-bagian atau organ-organ semata. Individu yang sehat adalah yang
seimbang antara ikatan organisme dengan lingkungan. Karena itu pertentangan
antara keberadaan sosial dengan biologis merupakan konsep dasar terapi gestalt.
Terapi
gestalt menekankan pada “apa” dan “bagaimana” dari pengalaman masa kini untuk
membantu klien menerima perbedaan-perbedaan mereka. Konsep pentingnya adalah
holisme, proses pembentukan figur, kesadaran, unfinished business dan
penolakan, kontak dan energi.
Selain
itu, gestalt juga menekankan pada pentingnya tanggung jawab diri. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Eleaner O‟Leary dalam Konseling dan Psikoterapinya Stephen
Palmer bahwa:
“Bertanggung
jawab pada diri sendiri adalah inti terapi gestalt. Klien dibantu untuk
berpindah dari posisi ketergantungan pada orang lain, termasuk pada terapis, ke
keadaan yang bisa mendukung diri sendiri. Klien didorong untuk melakukan banyak
hal secara mandiri. Awalnya klien melihat perasaan, emosi, dan masalahnya
sebagi sesuatu di luar dirinya; digunakan frasa-frasa seperti „ia membuat aku
merasa sangat bodoh‟. Klien tidak bertanggung jawab atas dirinya, dan dalam
pandangannya tak ada yang bisa dilakukan terhadap situasi itu kecuali menerima
begitu saja. Klien tidak melihat dirinya telah punya masukan atau kendali atas
kehidupannya. Klien dibantu menyadari bahwa ia bertanggung jawab atas hal yang
taerjadi pada dirinya. Dialah yang harus memutuskan apakah harus mengubah
situasi kehidupannya atau membiarkan tidak berubah.”
3.
Analisis Transaksional (AT)
Eric
Berne (1910-1970) kelahiran Montreal, Canada, adalah pelopor analisis
transaksional. Analisis transaksional merupakan psikoterapi transaksional yang
dapat digunakan dalam konseling individual, tetapi lebih cocok digunakan dalam
konseling kelompok. Analisis transaksional melibatkan suatu kontrak yang dibuat
oleh klien, yang dengan jelas menyatakan tujuan-tujuan dan arah proses
konseling. Analisis transaksional berfokus pada keputusan-keputusan awal yang
dibuat oleh klien dan menekankan kemampuan klien untuk membuat
keputusankeputusan baru. Analisis transaksional menekankan aspek-aspek kognitif
rasional-behavioral dan berorientasi kepada peningkatan kesadar sehingga klien
akan mampu membuat keputusan-keputusan baru dan mengubah cara hidupnya. Berne
menemukan bahwa dengan menggunakan analisis transaksional kliennya membuat
perubahan signifikan dalam kehidupan mereka.
Pendekatan
analisis transaksional berlandaskan suatu teori kepribadian yang berkenaan
dengan analisis struktural dan transaksional. Teori ini menyajikan suatu
kerangka bagi analisis terh tiga kedudukan ego yang terpisah, yaitu: orang tua,
dewasa, anak. Sifat kontraktual proses terapeutik analisis transaksional
cenderung mempersamakan kedudukan konselor dan klien. Adalah menjadi tanggung
jawab klie untuk menentukanapa yang akan diubahnya. Pada dasarnya, analisis
transaksional berasumsi bahwa manusia itu:
a. Manusia
memiliki pilihan-pilihan dan tidak dibelenggu oleh masa lampaunya (Manusia
selalu berubah dan bebas untuk menentukan pilihannya). Ada tiga hal yang
membuat manusia selalu berubah, yaitu :
1) Manusia (klien) adalah orang yang “telah
cukup lama menderita”, karena itu mereka ingin bahagia dan mereka berusaha
melakukan perubahan.
2) Adanya kebosanan, kejenuhan atau putus
asa. Manusia tidak puas dengan kehidupan yang monoton, kendatipun tidak
menderita bahkan berkecukupan. Keadaan yang monoton akan melahirkan perasaan
jenuh atau bosan, karena itu individu terdorong dan berupaya untuk melakukan
perubahan.
3) Manusia bisa berubah karena adanya
penemuan tiba-tiba. Hal ini merupakan hasil analisis transaksional yang dapat
diamati. Banyak orang yang pada mulanya tidak mau atau tidak tahu dengan
perubahan, tetapi dengan adanya informasi, cerita, atau pengetahuan baru yang
membuka cakrawala barunya, maka ia menjadi bersemangat untuk menyelidiki terus
dan berupaya melakukan perubahan.
b. Manusia
sanggup melampaui pengondisian dan pemprograman awal (manusia dapat berubah
asalkan ia mau). Perubahan manusia itu adalah persoalan di sini dan sekarang.
Berbeda dengan psikoanalisis, yang cenderung deterministik, di mana sesuatu
yang terjadi pada manusia sekarang ditilik dari masa lalunya. Manusia sekarang
memiliki kehendak, karena itu perilaku manusia sekarang adalah persoalan sekarang
dan di sini. Kendatipun ada hubungan dengan masa lalu, tapi bukan seluruhnya
perilaku hari ini ditentukan oleh pengalaman masa lalunya.
c. Manusia
bisa belajar mempercayai dirinya dirinya sendiri , berpikir dan memutuskan
untuk dirinya sendiri, dan mengungkapkan perasaan-perasaannya.
d. Manusia
sanggup untuk tampil di luar pola-pola kebisaaan dan menyeleksi tujuan-tujuan
dan tingkah laku baru.
e. Manusia
bertingkah laku dipengaruhi oleh pengharapan dan tuntutan dari orang-orang lain
f. Manusia
dilahirkan bebas, tetapi salah satu yang pertama dipelajari adalah berbuat
sebagaimana yang diperintahkan.
4.
Rational Emotive Therapy
Diperkenalkan
pada tahun 1955 oleh Albert Ellis. Menurut Gerald Corey dalam bukunya “Teori
dan Praktek Konseling dan Psikoterapi” terapi Rational Emotive Therapy adalah
pemecahan masalah yang fokus pada aspek berpikir, menilai, memutuskan,
direktif tanpa lebih banyak berurusan dengan dimensi-dimensi pikiran ketimbang
dengan dimensi-dimensi perasaan.
Selain
itu menurut Winkel dalam bukunya “Bimbingan dan Konseling di Institusi
Pendidikan adalah pendekatan konseling yang menekankan kebersamaan dan
interaksi antara berpikir dengan akal sehat, berperasaan dan berperilaku, serta
menekankan pada perubahan yang mendalam dalam cara berpikir dan berperasaan
yang berakibat pada perubahan perasaan dan perilaku.
Konsep-konsep
dasar terapi rasional emotif ini mengikuti pola yang didasarkan pada teori
A-B-C, yaitu:
A = Activating
Experence (pengalaman aktif). Suatu keadaan, fakta peristiwa, atau tingkah
laku yang dialami individu.
B = Belief
System (cara individu memandang suatu hal). Pandangan dan penghayatan
individu terhadap A.
C = Emotional
Consequence (akibat emosional). Akibat emosional atau reaksi individu
positif atau negatif.
Menurut
pandangan Ellis, A (pengalaman aktif) tidak langsung menyebabkan timbulnya C
(akibat emosional), namun bergantung pada B (cara individu memandang suatu hal).
Hubungan dan teori A-B-C yang didasari tentang teori rasional emotif dari Ellis
dapat digambarkan sebagai berikut:
A--------C
Keterangan:
--- : Pengaruh tidak langsung
B :
Pengaruh langsung
Teori
A-B-C tersebut, sasaran utama yang harus diubah adalah aspek B, yaitu bagaimana
caranya seseorang itu memandang atau menghayati sesuatu yang irasional,
sedangkan konselor harus berperan sebagai pendidik, pengarah, mempengaruhi,
sehingga dapat mengubah pola piker klien yang irasional atau keliru menjadi
pola pikir yang rasional.
Tujuan
Rational Emotive Therapy menurut
Ellis, membantu klien untuk memperoleh filsafat hidup yang lebih realistik yang
berarti menunjukkan kepada klien bahwa verbalisasi-verbalisasi diri mereka
telah dan masih merupakan sumber utama dari gangguan-gangguan emosional yang
dialami oleh mereka.
6.
Logoterapi
Logoterapi
berasal dari bahasa Yunani, yaitu logos,
sebagai arti dan semangat. Manusia butuh untuk mencari arti kehidupan mereka
dan logoterapi membantu kliennya dalam pencarian. Logoterapi terkadang disebut
aliran ketiga dalam terapi psikis, aliran yang lainnya adalah analisis kejiwaan
(Freud) dan psikologi individual (Adler). Mereka berbeda dalam analisis
kejiwaan yang fokus pada tekad kesenangan, psikologi individual fokus pada
tekad kekuatan dan logoterapi fokus pada tekad makna.
Banyak
orang menyatakan bahwa logoterapi Victor E. Frankl sangat dekat dengan ajaran
agama (spiritual), atau juga bisa merupakan "agama sekuler". Bagi
Frankl makna hidup adalah daya yang membimbing eksistensi manusia, sebagaimana
para Nabi membimbing umatnya. Frankl menggabungkan wawasan dari agama-agama dan
filsafat-filsafat lama, serta mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadinya
selama tiga tahun yang kelam di kamp konsentrasi Nazi yang dituangkan dalam
suatu teori psikoterapi, ajarant ersebut dinamakan dengan logoterapi.
Pada
hakikatnya merupakan inti dari setiap perjuangan hidup, yakni mengusahakan agar
kehidupan senantiasa berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat dan agama.
Asas utama logoterapi, yaitu:
a. Hidup
itu tetap memiliki makna dalam setiap situasi. Makna adalah sesuatu yang
dirasakan penting, benar, berharga, dan didambakan serta memberi nilai khusus
bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup. Jika makna hidup berhasil
ditemukan dan dipenuhi maka akan menyebabkan kehidupan berarti dan akan
mendapatkan kebahagiaan sebagai ganjarannya.
b. Setiap
manusia memiliki kebebasan yang hamper tidak terbatas untuk menemukan sendiri
makna hidupnya. Makna hidup dan sumber-sumbernya dapat ditemukan dalam kehidupan
itu sendiri khususnya pada pekerjaan yang dilakukan dan dalam keyakinan
terhadap harapan dan kebenaran serta penghayatan atas keindahan, iman, dan
cinta kasih.
c. Setiap
manusia memiliki kemampuan untuk mengambil sikap terhadap penderitaan dan
peristiwa tragis yang dihadapi setelah upaya mengatasinya telah dilakukan
secara ptimal namun tidak berhasil. Maksudnya, jika kita tidak mungkin mengubah
suatu keadaan sebaiknya kita mengubah sikap kita atas keadaan itu agar kita
tidak terhanyut secara negatif oleh keadaan itu.
Logoterapi
bertujuan agar dalam masalah yang dihadapi klien dia bisa menemukan makna dari
penderitaan dan kehidupan serta cinta. Dengan penemuan itu klien akan dapat
membantu dirinya sehingga bebas dari masalah tersebut. Adapun tujuan dari logoterapi
adalah agar setiap pribadi:
a. Memahami
adanya potensi dan sumber daya rohaniah yang secara universal ada pada setiap
orang terlepas dari ras, keyakinan dan agama yang dianutnya;
b. Menyadari
bahwa sumber-sumber dan potensi itu sering ditekan, terhambat dan diabaikan
bahkan terlupakan;
c. Memanfaatkan
daya-daya tersebut untuk bangkit kembali dari penderitaan untuk mampu tegak
kokoh menghadapi berbagai kendala, dan secara sadar mengembangkan diri untuk
meraih kualitas hidup yang lebih bermakna.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin,
H. M. (2003). Teori-teori konseling agama
dan umum. Jakarta: PT Golden Terayon Press.
Bastaman,
H.D. (2007). Psikologi untuk menemukan
makna hidup dan meraih hidup bermakna. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Corey,
G. (1988). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: PT. Eresco.
Corey,
G. (1997). Konseling dan psikoterapi.
Bandung: PT. Refika Aditama.
Cory,
G. (2009). Teori dan praktek konseling
dan psikoterapi. Bandung: PT. Refika Aditama.
Danarto,
A. (2001). Tafsir mimpi. Yogyakarta:
Jendela.
Feist,
J., & Feist, G. J. (2010). Teori
kepribadian (7th Ed.). Jakarta: Salemba Humanika.
Gunarsa,
S. D. (2007). Konseling dan psikoterapi.
Jakarta: Gunung Mulia.
Komalasari,
G. (2011). Teori dan teknik konseling.
Jakarta: PT. Indeks.
Kung,
H. (2003). Freud and the problem of god.
Yogyakarta: IRCiSoD.
Latipun.
(2001). Psikologi konseling. Malang:
UMM Press.
Lesmana,
J. M. (2005). Dasar-dasar konseling.
Jakarta: UI Press.
Natawidjaya,
R. (2009). Konseling kelompok konsep
dasar & pendekatan. Bandung: Rizqi Press.
Palmer,
S. (2011). Konseling dan psikoterapi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salahudin,
A. (2010). Bimbingan konseling islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Semiun,
Y. (2006). Kesehatan mental 3.
Yogyakarta: Kanisius.
Setiowati,
H. (2009). Pengantar umum psikoanalis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
0 komentar:
Posting Komentar