Subscribe:

Pages

Senin, 10 April 2017

TERAPI DALAM TIGA MAZHAB BESAR (PSIKOANALISA, BEHAVIORISTIK, HUMANISTIK)

A.  PSIKOANALISA

Hasil gambar untuk terapi psikoanalisa


Psikoanalisa disamping sebagai teori kepribadian dan teknik evaluasi kepribadian, psikoanalisa juga dikenal sebagai terapi, yaitu teknik untuk menyembuhkan penyakit-penyakit kejiwaan tertentu. Prinsip yang dipakai dalam teknik terapi menurut psikoanalisa adalah mencari dahulu faktor-faktor yang menyebabkan neurosis itu melalui teknik-teknik kepribadian. Apabila sudah diketahui penyebabnya, barulah menghilangkan faktor-faktor itu dalam rangka menghilangkan gejala-gejala penyakit.
Teknik-teknik perawatan yang dikemukakan Freud sangat berbeda dengan teknik-teknik yang diikuti oleh para dokter yang sudah lazim dalam praktek pengobatan mereka, dan tentunya merupakan cara yang revolusioner pada periode sebelum-sebelumnya.
Pada awal tahun 1904, Freud menyusun syarat tertentu untuk menyeleksi pasien yang cocok untuk psikoanalisis. Dia mengharuskan pasien tersebut memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi dan karakter yang cukup dapat diandalkan. Dan tidak mau mengambil pasien psikosis; yaitu pasien yang menderita schizofrenia atau penderita melankolia yang paling parah (sakit depresi). Freud juga mengatakan bahwa pasien yang “hampir mendekati atau berada di atas usia lima puluh tahun” tidak cocok untuk psikoanalisis karena dua alasan. Pertama, dia takut bahwa banyaknya materi yang dialami pasien pada masa hidupnya telah begitu menumpuk sehingga perawatannya mungkin akan berlangsung secara tidak jelas. Kedua, dia mengatakan “orang lanjut usia tidak lagi dapat dididik”, sementara orang dibawah usia remaja “seringkali sangat mudah dipengaruhi”. Freud juga mengungkapkan bahwa saran memainkan peranan yang lebih besar di dalam psikoanalisis yang biasa diakuinya.
Freud dalam melakukan praktek terapi, pasien diminta untuk berbaring tengkurap di atas sebuah dipan, sementara psikoanalisisnya duduk tidak kelihatan di belakangnya, dikarenakan tiga alasan: pertama, karena dengan demikian dapat mendorong lancarnya alur asosiasi bebas. Kedua, pengakuan Freud bahwa dia merasa takut kalau harus ditatap secara terus menerus selama delapan jam atau lebih dalam sehari. Ketiga, Freud beranggapan akan lebih menguntungkan apabila si pasien tidak menyadari perubahan mimik pada wajah psikoanalisisnya. Ketiga, alasan ini mempunyai kesahihan tertentu dan hampir semua analisis yang menggunakan cara Freud ini tetap menggunakan dipan.



Freud menganjurkan agar psikoanalis tidak membuat catatan mengenai pokok pembicaraan karena hal ini mungkin akan mengganggunya dalam mempertahankan sikap “memperhatikan dengan perhatian yang sama besar”. Dia juga menolak untuk memutuskan terlalu awal mana saja pendapat pasien yang dianggap penting. Freud menunjukkan bahwa manfaat dari apa yang didengar analis dalam pembahasan khusus mungkin hanya dapat dibuktikan pada waktu yang akan datang. Seorang analis harus mengubah pikiran bawah sadarnya sendiri seperti sebuah alat penerima kearah pikiran bawah sadar pasien yang dipancarkan. Dia harus menyesuaikan dirinya sendiri dengan pasien seperti layaknya pesawat penerima telepon yang disesuaikan dengan mikropon pengirimnya.


 1. Teknik talking cure (chimney sweeping)

Teknik talking cure merupakan teknik yang pertama kali pada saat Freud melakukan prakteknya untuk yang pertama kali bersama dokter Josep Breuer. Teknik ini dilaksanakan dengan membina hubungan baik dengan pasien-pasiennya. Dari hubungan baik tersebut Freud membiarkan pasiennya menceritakan semuanya pengalaman-pengalaman yang pernah dialaminya dari masa lalu. Melalui talking cure ini semua isi hati yang membuat si pasien kecewa dapat tersalurkan sehingga hati pasien menjadi lega terbebas dari tekanan-tekanan isi hati yang selama ini tidak bisa disalurkan keluar.
Kemudian dari hubungan baik tersebut akan dapat menimbulkan “catharsis” yaitu suatu keadaan dimana pasien dengan bebas sekali mengemukakan semua kesukaran-kesukaran yang dialaminya kepada dokter. Akan tetapi, menurut pengalaman Freud teknik talking cure kurang tepat karena dari teknik ini hanya menghasilkan hal-hal yang terdapat dalam alam kesadaran. Padahal persoalan yang menyebabkan gangguan kejiwaan kebanyakan pada alam ketidaksadaran.
 2. Katarsis (hipnosis)
Metode katarsis ini diperoleh dari dokter Josep Breuer. Metode hipnosis merupakan suatu teknik atau metode untuk menjadikan pasien-pasien setengah sadar atau berkurang kesadarannya sehingga lebih mudah dilihat isi dari alam ketidaksadarannya. Menurut dr. Breuer berdasarkan metode katarsis itu telah terbukti adanya perkaitan antara ingatan-ingatan yang dilupakan dengan gejala-gejala histeria. Sebab arti gejala-gejala itu dapat dinyatakan setelah pasien dimasukkan dalam keadaan hipnosis. Jadi dalam metode katarsis yang diajarkan oleh Breuer menurut pasien di hipnosis secara mendalam, karena hanya dalam keadaan hipnosis diperoleh sumber-sumber pataganis. Dalam menghadapi kasus akut, Bernheim berulang-ulang mengatakan bahwa sugesti adalah inti manifestasi hipnotisme dan hipnotis itu sendiri adalah hasil dari sugesti atau kondisi yang disugesti. Dalam keadaan bangun, dia juga lebih suka menggunakan sugesti yang juga akan memberi hasil yang sama.
Freud dalam menjalankan metode hipnosis dikabarkan telah sukses menagani kasus gangguan syaraf, yaitu perilaku irrasional seseorang yang berada dalam kesusahan. Tetapi tidak lama kemudian Freud merasa kurang puas dengan metode katarsis (hipnosis) karena metode ini dirasakan terlalu berat bagi dokter bersangkutan dan juga karena hasilnya kurang memuaskan akibat daya tahan pasien sering kali tidak dapat dibongkar. Ia juga mengatakan pekerjaan ini mengingatkan pada metode magis, sulap, dan takhayul. Hanya saja, untuk kepentingan pasien, dokter harus melakukannya. Walaupun sebenarnya tidak demikian karena metode hipnosis dapat dijelaskan secara ilmiah. Sehingga Freud perlu mengembangkan tekniknya sebagai penyempurna teknik-teknik sebelumnya.
 3. Metode asosiasi bebas (free assosiation)
Asosiasi bebas merupakan teknik utama dalam psikoanalisa. Analisis meminta kepada pasien agar membersihkan pikirannya dari pemikiran dan renungan sehari-hari dan sebisa mungkin menyatakan apa saja yang terlintas dalam pemikirannya betapa pun menyakitkan.
Asosiasi bebas adalah suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lalu dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi traumatis dari masa lampau. Jadi dalam metode asosiasi bebas ini pasien harus meninggalkan setiap sikap kritis terhadap fakta-fakta yang disadari dan mengatakan apa saja yang timbul dalam pemikirannya.
Dari prakteknya penyembuhan menggunakan asosiasi bebas ini belum membuat Sigmund Freud puas. Hal ini karena masih kurang banyak isi dari ketidaksadaran yang dapat dikorek keluar sehingga penyembuhan pun kurang meyakinkan.
 4. Analisis mimpi

Hasil gambar untuk orang tidur kartun

Freud menggunakan analisis mimpi untuk mengubah muatan manifes menjadi muatan laten yang lebih penting. Muatan manifes adalah makna mimpi pada permukaan atau deskripsi sadar yang disampaikan oleh orang yang bermimpi, sedangkan muatan laten berarti hal-hal yang tidak sadari.
Asumsi dasar dari analisis mimpi Freud adalah hampir semua mimpi merupakan upaya pemenuhan keinginan (wish fulfillments). Sejumlah keinginan tampak jelas dan diungkapkan melalui muatan manifes, seperti pada orang yang tidur dalam keadaan lapar dan bermimpi memakan makanan enak yang banyak. Akan tetapi, kebanyakan upaya pemenuhan keinginan diungkapkan melalui muatan laten dan hanya tafsir mimpilah yang bisa mengungkapkan keinginan tersebut.


Dari berbagai usaha yang telah dilakukan akhirnya Freud berfikir bahwa isi ketidaksadaran dapat pula timbul dalam mimpi. Mimpi merupakan suatu produk psikis dan karena hidup psikis dianggap sebagai konflik antara daya-daya psikis maka bisa diterima jika ia menyatakan mimpi sebagai perwujudan suatu konflik. Mimpi sebagai keinginan tak sadar yang muncul dalam kesadaran.


Di dalam mimpi ada tiga materi yang telah dikemukakan oleh Freud, yaitu; pertama, telah diketahui bahwa materi-materi tertentu yang muncul dalam isi mimpi, yang sesudahnya tidak bisa dikenali di alam sadar, adalah bagian dari pengetahuan dan pengalaman seseorang. Kedua, sumber materi-materi untuk direproduksi dalam mimpi yang diambil adalah dari masa kanak-kanak. Ketiga, keanehan ingatan dalam mimpi yang paling luar biasa sekaligus paling sulit untuk dijelaskan adalah pada pemilihan materi yang akan diproduksi. Untuk menafsirkan mimpi orang harus menelusuri proses terbentuknya mimpi dalam jurusan yang berlawanan. Setelah terlewati ia akan dapat memperlihatkan keinginan yang di represi. Maka penafsiran mimpi memainkan peran besar dalam perawatan psikoanalisis dan pada banyak kasus penafsiran mimpi jangka panjang menjadi instrumen paling penting dalam perawatan.
Ringkasnya, Freud meyakini bahwa mimpi dimotivasi oleh upaya pemenuhan keinginan. Muatan dari mimpi dibentuk di alam tidak sadar dan biasanya berakar dari pengalaman kanak-kanak, sementara muatan manifes seringkali berawal dari pengalaman sehari-hari.
Bagi Freud analisa tentang mimpi membawa banyak keuntungan. Pertama, analisa itu dapat meneguhkan hipotesisnya tentang susunan dan fungsi hidup psikis. Kedua, melalui hasil studinya tentang mimpi, ia mencapai kerajaan yang besar dibidang pengobatan neurosis-neurosis, dimana mimpi tersebut dapat membongkar ingatan-ingatan dari masa lampau.
 5. Freudian Slips
Freud meyakini bahwa keliru ucap atau tulis, salah baca, salah dengar, salah menaruh barang, dan selama sejenak melupakan nama atau apa yang ingin dilakukan, yang terjadi sehari-hari, bukanlah sekedar kecelakaan. Akan tetapi, justru mengungkapkan tujuan seseorang yang tak di sadari. Kekeliruan ini, menggunakan bahasa Jerman, yaitu Fehlleistung atau “kekeliruan fungsi”. Akan tetapi, James Strachey, menciptakan istilah parapraxes untuk menyebut apa yang kini banyak dikenal sebagai “keliru ucap ala Freud” (Freudian slips).


Parapraxes tanpa sadar begitu lazim, sehingga biasanya tidak kita perlihatkan dan kita pun menampik keinginan bahwa mereka punya makna yang tersembunyi. Freud bersikeras bahwa kekeliruan memiliki makna, mereka mengungkapkan tujuan tidak sadar dari orang tersebut. Keliru ucap  yang tidak di sadari ini serupa seperti mimpi, muncul dari alam bawah sadar dan alam tidak sadar dimana tujuan tidak begitu dominan sehingga mengganggu dan menggantikan tujuan yang ada di alam bawah sadar.

B.  BEHAVIORISTIK
Terapi tingkah laku adalah suatu teknik yang menerapkan informasi-informasi ilmiah guna menemukan pemecahan masalah manusia. Jadi, tingkah laku berfokus pada bagimana orang-orang belajar dan kondisi apa saja yang menentukan tingkah laku mereka. Istilah terapi tingkah laku atau konseling behavioristik berasal dari Bahasa Inggris “Behavior Counseling” yang untuk pertama kali digunakan oleh Jhon D. Krumboln. Krumboln adalah promoter utama dalam pendekatan behavioristik konseling, meskipun dia melanjutkan aliran yang sudah di mulai sejak tahun 1950.
Terapi behavioristik adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Terapi ini menyertakan penerapan yang sistematis prinsip-prinsip belajar pada pada pengubahan tingkah laku kearah cara-cara yang lebih adaptif.
Corey (1997) menjelaskan bahwa behavioristik adalah pendekatan-­pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang berkaitan dengan pengubahan tingkah laku. Pendekatan, teknik dan prosedur yang dilakukan berakar pada berbagai teori tentang belajar.
Pelopor­-pelopor aliran behavioristik pada dasarnya berpegang pada keyakinan bahwa perilaku manusia merupakan hasil dari proses belajar, oleh karena itu dapat diubah dengan belajar baru.
Pada dasarnya, terapi tingkah laku diarahkan pada tujuan-tujuan memperoleh tingkah laku baru, penghapusan tingkah laku yang maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang diinginkan.
Manusia dipandang memiliiki potensi untuk berperilaku baik atau buruk, tepat atau salah. Manusia mampu malakukan refleksi atas tingkah lakunya sendiri, dapat mengatur serta mengontrol perilakunya dan dapat belajar tingkah laku baru atau dapat mempengaruhi perilaku orang lain.
Bahavioristik adalah suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia. Dalil dasarnya adalah bahwa tingkah laku itu tertib dan bahwa eksperimen yang dikendalikan dengan cermat akan menyingkapkan hukum-hukum yang mengendalikan tingkah laku. Behavioristik ditandai oleh sikap membatasi metode-metode dan prosedur-prosedur pada data yang dapat diamati.
Pendekatan behavioristik tidak menguraikan asumsi-asumsi filosofis tertentu tentang manusia secara langsung. Setiap orang dipandang memiliki kecenderungan-kecenderungan positif dan negatif yang sama. Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya. Segenap tingkah laku manusia itu dipelajari. Meskipun berkeyakinan bahwa segenap tingkah laku pada dasarnya merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan lingkungan dan faktor-faktor genetik, para behavioristik memasukkan pembuatan putusan sebagai salah satu bentuk tingkah laku.


Terapi tingkah laku ditandai oleh: (a) pemusatan perhatian terhadap tingkah laku yang tampak dan spesifik, (b) kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment, (c) perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai dengan masalah, dan (d) penaksiran objektif atas hasil-hasil terapi.
Tujuan umum terapi tingkah laku adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasannya ialah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasuk tingkah laku yang maladaptif. Jika tingkah laku neurotik learned, maka ia bisa unlearned (dihapus dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh. Terapi tingkah laku pada hakikatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang didalamnya terdapat respons-respons yang layak, namun belum dipelajari.
Tujuan konseling behavioral berorientasi pada pengubahan atau modifikasi perilaku konseli, yang diantaranya untuk:
a.    Menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar.
b.    Penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif.
c.    Memberi pengalaman belajar yang adaptif namun belum dipelajari.
d. Membantu konseli membuang respons-respons yang lama yang merusak diri atau maladaptif dan mempelajari respons-respons yang baru yang lebih sehat dan sesuai (adjustive).
e.   Konseli belajar perilaku baru dan mengeliminasi perilaku yang maladaptif pemperkuat serta mempertahankan perilaku yang diinginkan.
f.   Penetapan tujuan dan tingkah laku serta upaya pencapaian sasaran dilakukan bersama antara konseli dan konselor.
Untuk mencapai tujuan dalam proses konseling diperlukan teknik­teknik yang digunakan. Untuk pengubahan perilaku ada sejumlah teknik yang dapat dilakukan dalam terapi behavioristik, yaitu:
            1.  Desensitisasi Sistematis
Menurut Willis (2004: 96) desensitisasi sistematis adalah suatu teknik untuk mengurangi respon emosional yang menakutkan, mencemaskan atau tidak menyenangkan melalui aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan respon yang menakutkan itu. Desensitisasi sistematis juga melibatkan teknik-teknik relaksasi. Klien di latih untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau divisualisasi. Tingkatan stimulus penghasil kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan stimulus penghasil keadaan santai sampai kaitan antara stimulus penghasil kecemasan dan respon kecemasan itu akan terhapus.




Adapun tahap-tahap dalam pelaksanaan teknik desensitisasi sistematik ini dikemukakan oleh Cormier & Cormier (Abimanyu & Manrihu,1996:337) adalah:
a.    Rasional penggunaan treatment desensitisasi sistematis
b.    Identifikasi situasi-situasi yang menimbulkan emosi
c.    Identifikasi konstruksi hierarki
d.   Pemilihan latihan
e.    Penilaian imajinasi
f.     Penyajian adegan
g.    Tindak lanjut

        2. Terapi Implosif
Terapi implosif dikembangkan atas dasar pandangan tentang seseorang yang secara berulang­ulang dihadapkan pada situasi kecemasan dan konsekuensi­ konsekuensi yang menakutkan ternyata tidak muncul, maka kecemasan akan hilang. Atas dasar itu klien diminta untuk membayangkan stimulus-­stimulus yang menimbulkan kecemasan.
Pasien dengan ansietas yang disebabkan situasi, secara langsung dipajankan terhadap situasi tersebut untuk jangka waktu tertentu (flooding) atau dipajankan di dalam imajinasi (implosion).
a. Flooding
Dalam flooding terdiri dari paparan intens dan berkepanjangan terhadap rancangan kecemasan yang sebenarnya. Umumnya, klien yang sangat ketakutkan cenderung mengekang kecemasan mereka melalui penggunaan perilaku maladaptif. Dalam flooding, klien dilarang untuk berkecimpung dalam respon mereka yang biasa maladaptif ketika dalam situasi kecemasan. Flooding cenderung mengurangi kecemasan dengan cepat.


Teknik ini didasarkan pada prinsip-prinsip dan mengikuti prosedur yang sama namun paparan terjadi dalam imajinasi klien bukan di kehidupan sehari-hari. Paparan terhadap peristiwa traumatis yang sebenarnya seperti kecelakaan pesawat, pemerkosaan, kebakaran, banjir,  sering tidak mungkin dilakukan karena alasan etis dan praktis. Banjir imaginal dapat menciptakan kembali keadaan trauma dengan cara yang tidak membawa konsekuensi yang merugikan bagi klien.
Flooding sering digunakan dalam pengobatan perilaku kecemasan yang berhubungan dengan gangguan, fobia, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan stres pasca trauma, dan agoraphobia. Kontak yang terlalu lama dan intens dapat menjadi cara yang efektif dan efisien untuk mengurangi kecemasan klien. Penelitian menunjukkan bahwa terapi paparan dapat mengurangi derajat rasa takut dan kecemasan.
b. Implosion


Pada terapi ini klien tidak disuruh untuk membayangkan situasi yang ditakutinya atau yang membangkitkan kecemasannya, tetapi klien dihadapkan langsung pada situasi itu. Terapis dan klien membuat hirarki kecemasan untuk melihat tingkat kecemasan yang dialami klien. Setelah pembuatan hirarki ini klien dihadapkan pada pemaparan penyebab itu. Klien dapat menghentikan pemaparan jika ia mengalami tingkat kecemasan yang tinggi.
Seperti halnya dengan desensitisasi sistematis, klien belajar tanggapan bersaing melibatkan relaksasi otot. Dalam beberapa kasus terapis dapat menemani klien saat mereka menghadapi situasi ditakuti. Sebagai contoh, terapis bisa pergi dengan klien dalam lift jika mereka memiliki fobia menggunakan lift.
             3. Latihan Asertif
Latihan asertif menjadi metode yang sangat sering digunakan dalam mengubah tingkah laku interpersonal yang tidak adaptif. Teknik ini sangat efektif dalam mengubah tingkah laku takut dan tingkah laku agresif. Wolpe (1958) adalah orang pertama yang mengembangkan pendekatan ini dan dikembangkan lebih lanjut oleh berbagai pengarang, termasuk Alberti dan Emmons (1970) serta Fensterheim dan Baer (1975).
Latihan asertif bertujuan melatih serta membiasakan individu berperilaku asertif dalam berhubungan dengan orang lain di lingkungan sekitarnya. Perilaku asertif merupakan perilaku dalam hubungan antar pribadi yang menyangkut ekspresi emosi, perasaan, pikiran, serta keinginan dan kebutuhan secara terbuka, tepat, dan jujur, tanpa perasaan cemas atau tegang terhadap orang lain tanpa merugikan diri sendiri atau orang lain
             4. Pengkondisian Aversi


Teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut. Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya perilaku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara perilaku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
              5. Pembentukan Perilaku Model
Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk perilaku baru pada klien, dan memperkuat perilaku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang perilaku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis perilaku yang hendak dicontoh. Perilaku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.
             6. Kontrak Perilaku
Kontrak perilaku adalah persetujuan antara dua orang atau lebih (konselor dan klien) untuk mengubah perilaku tertentu pada klien. Dalam terapi ini konselor memberikan ganjaran positif dipentingkan daripada memberikan hukuman jika kontrak tidak berhasil.
            7.    Home Work Assigments
Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola perilaku yang diharapkan. Dengan tugas rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan. Pelaksanaan home work assigment yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor. Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.
             8.    Adaptif
Teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan perilaku yang diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.  
         9.    Cognitive Behavioural Theraphy


CBT menganggap bahwa pola pemikiran terbentuk melalui proses stimulus-kognisi-respon (S-K-R), yang saling berkaitan dan membentuk semacam jaringan dalam otak. Proses kognitif merupakan faktor penentu bagi pikiran, perasaan, dan perbuatan. Semua kejadian yang dialami berlaku sebagai stimulus yang dapat dipersepsi secara positif maupun negatif.



CBT merupakan bentuk psikoterapi yang menekankan pentingnya peran pikiran dalam bagaimana kita merasa dan apa yang akan kita lakukan.

C. HUMANISTIK

Hasil gambar untuk abraham maslow

Manusia adalah mahluk yang selalu dalam keadaan transisi, berkembang, membentuk diri dan menjadi sesuatu. Menjadi seseorang berarti kita menemukan sesuatu dan menjadikan keberadaan kita sebagai sesuatu yang wajar. Sebagai manusia kita selalu bertanya tentang diri sendiri, orang lain dan dunia. Memiliki enam dimeni dasar positif dari kondisi manusia, yaitu: 1. kapasitas akan kesadaran diri; 2. Kebebasan serta tanggung jawab; 3. menciptakan identitas dirinya dan menciptakan hubungan yang bermakna dengan orang lain; 4. usaha pencarian makna, tujuan, nilai dan sasaran; 5. kecemasan sbagai suatu kondisi hidup; dan 6. kesadaran akan datangnya maut serta ketidakberadaan.
Manusia pada dasarnya baik-aktif. Kecenderungan manusia untuk berkembang secara positif dan konstruktif apabila tercipta suasana menghormati dan mempercayai. Manusia itu penuh akal, dapat dipercaya dan positif, mampu mengarahkan diri, hidup secara produktif, efektif dan efisien.
Pandangan positif tentang sifat dasar manusia ini mengandung implikasi yang signifikan bagi praktik terapi yang berakar pada kapasitas klien untuk menyadari dan kemampuannya untuk membuat keputusan. Melihat manusia dari sisi ini berarti terapis berfokus pada segi konstruktif dari sifat dasar manusia, pada apa yang benar dengan pribadi itu dan pada aset yang dibawa orang dalam terapi. Implikainya bahwa mereka tiada hentinya terlibat dalam suatu proses mengaktualisasikan diri.
Terapi ini cenderung memusatkan pada pengalaman-pengalaman sadar. Dan memusatkan perhatian pada apa yang dialami pasien di masa sekarang, dan bukan pada masa lampau.
Terapi eksistensial tidak terikat pada salah seorang pelopor, akan tetapi eksistensial memiliki banyak pengembang, tetapi yang populer adalah Victor Frankl, Rollo May, Irvin Yalom, James Bugental, dan Medard Boss. Eksistensialisme bersama-sama dengan psikologi humanistik, muncul untuk merespon dehumanisasi yang timbul sebagai efek samping dari perkembangan industri dan urbanisasi masyarakat. Pada waktu itu banyak orang membutuhkan kekuatan untuk mengembalikan sense of humannes disamping untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kebermaknaan hidup, khususnya yang berkaitan dengan upaya menghadapi kehancuran, isolasi, dan kematian.


Terapi eksistensial humanistik berfokus pada kondisi manusia. Pendekatan ini terutama adalah suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia alih-alih suatu sistem teknik-teknik yang digunakan untuk mempengaruhi klien. Oleh karena itu, pendekatan eksistensial humanistik bukan justru aliran terapi, bukan pula suatu teori tunggal yang sistematik suatu pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang manusia.
Menurut Maslow, sebagian besar orang sukar melampaui tahap kebutuhan akan cinta kasih, karena itu terapis harus mengembangkan relasi yang terbuka dan hangat kepada klien.
Pendekatan eksistensial humanistik mengembalikan pribadi kepada fokus sentral, memberikan gambaran tentang manusia pada tarafnya yang tertinggi. Ia menunjukkan bahwa manusia selalu ada dalam proses pemenjadian dan bahwa manusia secara sinambung mengaktualkan dan memenuhi potensinya. Pendekatan eksistensial humanistik secara tajam berfokus pada fakta-fakta utama keberadaan manusia, kesadaran diri, dan kebebasan yang konsisten.
Menurut teori dari Albert Ellis yang berhubungan dengan eksistensi manusia. Ia menyatakan bahwa manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya ditentukan secara biologis dan didorong oleh naluri-naluri. Ia melihat sebagai individu sebagai unik dan memiliki kekuatan untuk menghadapi keterbatasan-keterbatasan untuk merubah pandangan-pandangan dan nilai-nilai dasar dan untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan menolak diri-sendiri. Manusia mempunyai kesanggupan untuk mengkonfrontasikan sistem-sistem nilainya sendiri dan menindoktrinasi diri dengan keyakinan-keyakinan, gagasan-gagasan dan nilai yang berbeda, sehingga akibatnya, mereka akan bertingkah laku yang berbeda dengan cara mereka bertingkah laku dimasa lalu. Jadi karena berfikir dan bertindak sampai menjadikan dirinya bertambah, mereka bukan korban-korban pengondisian masa lalu yang positif.
Tujuan terapi:
a.         Menolak hasil deterministik pada ciptaan manusia.
b.        Orang-orang bebas dan bertanggung jawab untuk tiap pilihan dan tindakan mereka.
c.         Orang-orang adalah pengarang untuk hidup mereka.
d.   Terapi humanistik membuat klien merefleksi pada hidup, mengenali adanya banyak pilihan, dan menentukan antara pilihan-pilihan itu.
e.     Mengurangi rasa ketergantungan kepada orang lain dan untuk memotivasi individu menuju aktualisasi diri.
f.   Mengenali cara-cara yang mereka terima secara pasif dalam lingkungan mereka dan menyerah, sehingga diperlukan kesadaran untuk membentuk hidup yang dimiliki untuk menggali potensi-potensi agar hidup lebih bermakna.
 Prosedur dan teknik terapi:
a.  Konselor membantu klien dalam mengidentifikasi dan mengklarifikasi asumsi mereka tentang dunia. Klien diajak untuk mendefinisikan dan menanyakan tentang cara mereka memandang dan menjadikan eksistensi mereka bisa diterima. Mereka meneliti nilai mereka, keyakinan, serta asumsi untuk menentukan kesahihannya. Bagi banyak klien hal ini bukan pekerjaan yang  mudah, oleh karena itu walnya mereka memaparkan problema mereka. Konselor disini mengajarkan mereka bagaimana caranya untuk bercermin pada eksistensi mereka sendiri dan meneliti peranan mereka dalam hal penciptaan problem mereka dalam hidup.
b.   Klien didorong semangatnya untuk lebih dalam lagi meneliti sumber dan otoritas dari sistem nilai mereka. Proses eksplorasi diri ini biasanya membawa klien ke pemahaman baru dan berapa restrukturisasi dari nilai dan sikap mereka. Klien mendapat cita rasa yang lebih baik akan jenis kehidupan macam apa yang mereka anggap pantas. Mereka mengembangkan gagasan yang jelas tentang proses pemberian niali internal mereka.
c.     Konseling eksistensial berfokus pada menolong klien untuk bisa melaksanakan apa yang telah mereka pelajari tentang diri mereka sendiri. Sasaran terapi adalah memungkinkan klien untuk bisa mencari cara pengaplikasikan niali hasil penelitian dan internalisasi denagn jalan kongkrit. Biasanya klien menemukan jalan mereka untuk menggunakan kekuatan itu demi menjalani eksistensi kehidupannya yang memiliki tujuan.
Berikut beberapa jenis terapi humanistik:
           1.    Person Centered Therapy 


Suatu bentuk terapi bicara yang dikembangkan oleh Carl Rogers di tahun 1940-an dan 1950-an. Tujuan dari bentuk terapi adalah untuk meningkatkan perasaan seseorang harga diri, mengurangi tingkat ketidaksesuaian antara diri ideal dan aktual, dan membantu seseorang menjadi lebih lengkap berfungsi. Keyakinan yang kuat Rogers dalam sifat positif manusia makhluk didasarkan pada bertahun-tahun tentang konseling klinis. Dia menyarankan bahwa semua klien, tidak peduli apa masalahnya, dapat meningkatkan tanpa diajarkan sesuatu yang spesifik oleh konselor, setelah mereka menerima dan menghormati diri.
Menurut Rogers (1957), agar perubahan kepribadian yang konstruktif terjadi, perlu dan cukup bahwa kondisi berikut dan terus selama periode waktu:
a.       Dua orang berada dalam kontak psikologis.
b.  Pertama, yang akan kita sebut klien, adalah dalam keadaan ketidaksesuaian, menjadi rentan atau cemas.
c.  Orang kedua, yang akan kita sebut terapis, adalah kongruen atau terintegrasi dalam hubungan.
d.      Pengalaman terapis tanpa syarat hal positif untuk klien.
e.     Terapis mengalami pemahaman empatik dari internal frame klien acuan dan upaya untuk berkomunikasi pengalaman ini kepada klien.
f.       komunikasi untuk klien dari terapis empatik.
2. Terapi Gestalt


Terapi ini dikembangkan oleh Frederick S. Pearls (1894-1970) yang didasari oleh empat aliran, yaitu psikoanalisis, fenomenologis, dan eksistensialisme, serta psikologi gestalt.
Menurut Pearls individu itu selalu aktif sebagai keseluruhan. Individu bukanlah jumlah dari bagian-bagian atau organ-organ semata. Individu yang sehat adalah yang seimbang antara ikatan organisme dengan lingkungan. Karena itu pertentangan antara keberadaan sosial dengan biologis merupakan konsep dasar terapi gestalt.
Terapi gestalt menekankan pada “apa” dan “bagaimana” dari pengalaman masa kini untuk membantu klien menerima perbedaan-perbedaan mereka. Konsep pentingnya adalah holisme, proses pembentukan figur, kesadaran, unfinished business dan penolakan, kontak dan energi.
Selain itu, gestalt juga menekankan pada pentingnya tanggung jawab diri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Eleaner O‟Leary dalam Konseling dan Psikoterapinya Stephen Palmer bahwa:
“Bertanggung jawab pada diri sendiri adalah inti terapi gestalt. Klien dibantu untuk berpindah dari posisi ketergantungan pada orang lain, termasuk pada terapis, ke keadaan yang bisa mendukung diri sendiri. Klien didorong untuk melakukan banyak hal secara mandiri. Awalnya klien melihat perasaan, emosi, dan masalahnya sebagi sesuatu di luar dirinya; digunakan frasa-frasa seperti „ia membuat aku merasa sangat bodoh‟. Klien tidak bertanggung jawab atas dirinya, dan dalam pandangannya tak ada yang bisa dilakukan terhadap situasi itu kecuali menerima begitu saja. Klien tidak melihat dirinya telah punya masukan atau kendali atas kehidupannya. Klien dibantu menyadari bahwa ia bertanggung jawab atas hal yang taerjadi pada dirinya. Dialah yang harus memutuskan apakah harus mengubah situasi kehidupannya atau membiarkan tidak berubah.”
3. Analisis Transaksional (AT)


Eric Berne (1910-1970) kelahiran Montreal, Canada, adalah pelopor analisis transaksional. Analisis transaksional merupakan psikoterapi transaksional yang dapat digunakan dalam konseling individual, tetapi lebih cocok digunakan dalam konseling kelompok. Analisis transaksional melibatkan suatu kontrak yang dibuat oleh klien, yang dengan jelas menyatakan tujuan-tujuan dan arah proses konseling. Analisis transaksional berfokus pada keputusan-keputusan awal yang dibuat oleh klien dan menekankan kemampuan klien untuk membuat keputusankeputusan baru. Analisis transaksional menekankan aspek-aspek kognitif rasional-behavioral dan berorientasi kepada peningkatan kesadar sehingga klien akan mampu membuat keputusan-keputusan baru dan mengubah cara hidupnya. Berne menemukan bahwa dengan menggunakan analisis transaksional kliennya membuat perubahan signifikan dalam kehidupan mereka.
Pendekatan analisis transaksional berlandaskan suatu teori kepribadian yang berkenaan dengan analisis struktural dan transaksional. Teori ini menyajikan suatu kerangka bagi analisis terh tiga kedudukan ego yang terpisah, yaitu: orang tua, dewasa, anak. Sifat kontraktual proses terapeutik analisis transaksional cenderung mempersamakan kedudukan konselor dan klien. Adalah menjadi tanggung jawab klie untuk menentukanapa yang akan diubahnya. Pada dasarnya, analisis transaksional berasumsi bahwa manusia itu:
a.  Manusia memiliki pilihan-pilihan dan tidak dibelenggu oleh masa lampaunya (Manusia selalu berubah dan bebas untuk menentukan pilihannya). Ada tiga hal yang membuat manusia selalu berubah, yaitu :
1)     Manusia (klien) adalah orang yang “telah cukup lama menderita”, karena itu mereka ingin bahagia dan mereka berusaha melakukan perubahan.
2)     Adanya kebosanan, kejenuhan atau putus asa. Manusia tidak puas dengan kehidupan yang monoton, kendatipun tidak menderita bahkan berkecukupan. Keadaan yang monoton akan melahirkan perasaan jenuh atau bosan, karena itu individu terdorong dan berupaya untuk melakukan perubahan.
3)    Manusia bisa berubah karena adanya penemuan tiba-tiba. Hal ini merupakan hasil analisis transaksional yang dapat diamati. Banyak orang yang pada mulanya tidak mau atau tidak tahu dengan perubahan, tetapi dengan adanya informasi, cerita, atau pengetahuan baru yang membuka cakrawala barunya, maka ia menjadi bersemangat untuk menyelidiki terus dan berupaya melakukan perubahan.
b.  Manusia sanggup melampaui pengondisian dan pemprograman awal (manusia dapat berubah asalkan ia mau). Perubahan manusia itu adalah persoalan di sini dan sekarang. Berbeda dengan psikoanalisis, yang cenderung deterministik, di mana sesuatu yang terjadi pada manusia sekarang ditilik dari masa lalunya. Manusia sekarang memiliki kehendak, karena itu perilaku manusia sekarang adalah persoalan sekarang dan di sini. Kendatipun ada hubungan dengan masa lalu, tapi bukan seluruhnya perilaku hari ini ditentukan oleh pengalaman masa lalunya.
c.    Manusia bisa belajar mempercayai dirinya dirinya sendiri , berpikir dan memutuskan untuk dirinya sendiri, dan mengungkapkan perasaan-perasaannya.
d.    Manusia sanggup untuk tampil di luar pola-pola kebisaaan dan menyeleksi tujuan-tujuan dan tingkah laku baru.
e.       Manusia bertingkah laku dipengaruhi oleh pengharapan dan tuntutan dari orang-orang lain
f.  Manusia dilahirkan bebas, tetapi salah satu yang pertama dipelajari adalah berbuat sebagaimana yang diperintahkan.
4. Rational Emotive Therapy


Diperkenalkan pada tahun 1955 oleh Albert Ellis. Menurut Gerald Corey dalam bukunya “Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi” terapi Rational Emotive Therapy adalah pemecahan masalah yang fokus pada aspek berpikir, menilai, memutuskan, direktif tanpa lebih banyak berurusan dengan dimensi-dimensi pikiran ketimbang dengan dimensi-dimensi perasaan.
Selain itu menurut Winkel dalam bukunya “Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan adalah pendekatan konseling yang menekankan kebersamaan dan interaksi antara berpikir dengan akal sehat, berperasaan dan berperilaku, serta menekankan pada perubahan yang mendalam dalam cara berpikir dan berperasaan yang berakibat pada perubahan perasaan dan perilaku.
Konsep-konsep dasar terapi rasional emotif ini mengikuti pola yang didasarkan pada teori A-B-C, yaitu:
A = Activating Experence (pengalaman aktif). Suatu keadaan, fakta peristiwa, atau tingkah laku yang dialami individu.
B = Belief System (cara individu memandang suatu hal). Pandangan dan penghayatan individu terhadap A.
C = Emotional Consequence (akibat emosional). Akibat emosional atau reaksi individu positif atau negatif.
Menurut pandangan Ellis, A (pengalaman aktif) tidak langsung menyebabkan timbulnya C (akibat emosional), namun bergantung pada B (cara individu memandang suatu hal). Hubungan dan teori A-B-C yang didasari tentang teori rasional emotif dari Ellis dapat digambarkan sebagai berikut:
A--------C
Keterangan:
---         : Pengaruh tidak langsung
 B         : Pengaruh langsung
Teori A-B-C tersebut, sasaran utama yang harus diubah adalah aspek B, yaitu bagaimana caranya seseorang itu memandang atau menghayati sesuatu yang irasional, sedangkan konselor harus berperan sebagai pendidik, pengarah, mempengaruhi, sehingga dapat mengubah pola piker klien yang irasional atau keliru menjadi pola pikir yang rasional.


Tujuan Rational Emotive Therapy menurut Ellis, membantu klien untuk memperoleh filsafat hidup yang lebih realistik yang berarti menunjukkan kepada klien bahwa verbalisasi-verbalisasi diri mereka telah dan masih merupakan sumber utama dari gangguan-gangguan emosional yang dialami oleh mereka.
6. Logoterapi


Logoterapi berasal dari bahasa Yunani, yaitu logos, sebagai arti dan semangat. Manusia butuh untuk mencari arti kehidupan mereka dan logoterapi membantu kliennya dalam pencarian. Logoterapi terkadang disebut aliran ketiga dalam terapi psikis, aliran yang lainnya adalah analisis kejiwaan (Freud) dan psikologi individual (Adler). Mereka berbeda dalam analisis kejiwaan yang fokus pada tekad kesenangan, psikologi individual fokus pada tekad kekuatan dan logoterapi fokus pada tekad makna.
Banyak orang menyatakan bahwa logoterapi Victor E. Frankl sangat dekat dengan ajaran agama (spiritual), atau juga bisa merupakan "agama sekuler". Bagi Frankl makna hidup adalah daya yang membimbing eksistensi manusia, sebagaimana para Nabi membimbing umatnya. Frankl menggabungkan wawasan dari agama-agama dan filsafat-filsafat lama, serta mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadinya selama tiga tahun yang kelam di kamp konsentrasi Nazi yang dituangkan dalam suatu teori psikoterapi, ajarant ersebut dinamakan dengan logoterapi.
Pada hakikatnya merupakan inti dari setiap perjuangan hidup, yakni mengusahakan agar kehidupan senantiasa berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat dan agama. Asas utama logoterapi, yaitu:
a.    Hidup itu tetap memiliki makna dalam setiap situasi. Makna adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar, berharga, dan didambakan serta memberi nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup. Jika makna hidup berhasil ditemukan dan dipenuhi maka akan menyebabkan kehidupan berarti dan akan mendapatkan kebahagiaan sebagai ganjarannya.

b.    Setiap manusia memiliki kebebasan yang hamper tidak terbatas untuk menemukan sendiri makna hidupnya. Makna hidup dan sumber-sumbernya dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri khususnya pada pekerjaan yang dilakukan dan dalam keyakinan terhadap harapan dan kebenaran serta penghayatan atas keindahan, iman, dan cinta kasih.

c.  Setiap manusia memiliki kemampuan untuk mengambil sikap terhadap penderitaan dan peristiwa tragis yang dihadapi setelah upaya mengatasinya telah dilakukan secara ptimal namun tidak berhasil. Maksudnya, jika kita tidak mungkin mengubah suatu keadaan sebaiknya kita mengubah sikap kita atas keadaan itu agar kita tidak terhanyut secara negatif oleh keadaan itu.
Logoterapi bertujuan agar dalam masalah yang dihadapi klien dia bisa menemukan makna dari penderitaan dan kehidupan serta cinta. Dengan penemuan itu klien akan dapat membantu dirinya sehingga bebas dari masalah tersebut. Adapun tujuan dari logoterapi adalah agar setiap pribadi:
a.     Memahami adanya potensi dan sumber daya rohaniah yang secara universal ada pada setiap orang terlepas dari ras, keyakinan dan agama yang dianutnya;
b.    Menyadari bahwa sumber-sumber dan potensi itu sering ditekan, terhambat dan diabaikan bahkan terlupakan;
c.    Memanfaatkan daya-daya tersebut untuk bangkit kembali dari penderitaan untuk mampu tegak kokoh menghadapi berbagai kendala, dan secara sadar mengembangkan diri untuk meraih kualitas hidup yang lebih bermakna. 

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, H. M. (2003). Teori-teori konseling agama dan umum. Jakarta: PT Golden Terayon Press.
Bastaman, H.D. (2007). Psikologi untuk menemukan makna hidup dan meraih hidup bermakna. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Corey, G. (1988).  Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: PT. Eresco.
Corey, G. (1997). Konseling dan psikoterapi. Bandung: PT. Refika Aditama.
Cory, G. (2009). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: PT. Refika Aditama.
Danarto, A. (2001). Tafsir mimpi. Yogyakarta: Jendela.
Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Teori kepribadian (7th Ed.). Jakarta: Salemba Humanika.
Gunarsa, S. D. (2007). Konseling dan psikoterapi. Jakarta: Gunung Mulia.
Komalasari, G. (2011). Teori dan teknik konseling. Jakarta: PT. Indeks.
Kung, H. (2003). Freud and the problem of god. Yogyakarta: IRCiSoD.
Latipun. (2001). Psikologi konseling. Malang: UMM Press.
Lesmana, J. M. (2005). Dasar-dasar konseling. Jakarta: UI Press.
Natawidjaya, R. (2009). Konseling kelompok konsep dasar & pendekatan. Bandung: Rizqi Press.
Palmer, S. (2011). Konseling dan psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salahudin, A. (2010).  Bimbingan konseling islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Semiun, Y. (2006). Kesehatan mental 3. Yogyakarta: Kanisius.

Setiowati, H. (2009). Pengantar umum psikoanalis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates